Tuesday, 23 February 2021

Banjir di Jakarta

Sejak dahulu kala Banjir merupakan permasalahan di Jakarta. Sebagai bagian dari kerajaan Tarumanegara, beberapa wilayah di Kalapa (Jakarta saat ini) sudah dicatat sebagai daerah yang selalu Banjir, hal ini tercatat dalam Prasasti Tugu yang diperkirakan dibuat pada abad ke 5, sesuai dengan masa pemerintahan Raja Purnawarman.

“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”

Jakarta merupakan daerah dataran di mana 40% wilayahnya merupakan daerah dataran rendah yang tentu saja sangat rawan banjir. Gambar berikut memperlihatkan elevasi wilayah Jakarta hampir 40% nya hanya memiliki elevasi di bawah 5 m di atas permukaan laut. Bisa dipahami, karena Jakarta semakin ke utara merupakan daerah pesisir.

Gambar dari google (Jurnal BPPT)

Untuk membahas kerawanan banjir, menurut Setiawan (2014), karakteristik geomorfologi menjadi kunci dalam kajian potensi banjir, banjir genangan ataupun jejak-jejaknya dapat dikenali dari pola bentuk lahan pada dataran rendah.

Lebih lanjut, Dibyosaputro (1997), menjelaskan bahwa bentuk lahan asal proses fluvial merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat proses air mengalir, baik yang memusat (sungai) maupun oleh aliran permukaan bebas (overland flow). Ketiga aktivitas dari sungai ataupun aliran permukaan bebas tersebut mencakup: erosi, transportasi, dan deposisi atau sedimentasi.

Nah dari hasil analisis para peneliti ternyata Jakarta DKI Jakarta memiliki satuan bentuk lahan: dataran alluvial seluas 25.539,07 ha, dataran alluvial pantai seluas 5.996,94 ha, dataran banjir seluas 8.429,12 ha, dan kipas alluvial seluas 24103.56 ha (Siti Dahlia, Tricahyono, NH, dan Wira Fazri Rosyidin-Junal Alami 2018 ).

Dataran alluvial merupakan daerah dengan topografi datar dengan material alluvium yang berasal ketika banjir dan penggenangan.

Dataran alluvial merupakan dataran yang terbentuk akibat proses-proses geomorfologi yang lebih didominasi oleh tenaga eksogen antara lain iklim, curah hujan, angin, jenis batuan, topografi, suhu, yang semuanya akan mempercepat proses pelapukan dan erosi. Hasil erosi diendapkan oleh air ke tempat yang lebih rendah atau mengikuti aliran sungai. Jadi sebenarnya, beberapa wilayah di Jakarta adalah adalah daerah yang secara alami merupakan daerah tempat menggenangnya air atau yang merupakan daerah dimana sering terjadi genangan air akibat dari meluapnya sungai atau tertampungnya air pada saat hujan. Sehingga sangat logis, jika sampai saat ini pun Jakarta selalu dihadapkan pada kondisi banjir.

Gambar dari google (jurnal BPPT)

Kondisi Jakarta pun diperparah dengan penurunan permukaan tanah, menurut riset yang dilakukan oleh tim dari ITB, menunjukkan bahwa Jakarta Utara mengalami penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25 cm setiap tahunnya. Wilayah Jakarta Barat mengalami penurunan hingga 15 cm per tahun. Wilayah Jakarta Timur, 10 cm setiap tahunnya, dan penurunan tanah sedalam 2 cm terjadi di Wilayah Jakarta Pusat. Sementara, di Jakarta Selatan penurunan tanah sekitar 1 cm per tahun.

(Gambar dari google)

Salah satu penyebab utama penurunan tanah ini adalah karena pengambilan air tanah yang tersedia di kedalaman 80 hingga 300 meter secara berlebihan. Ketika memompa air tanah, ada penurunan tekanan di dalam sana dan timbulnya rongga, jika itu terus terjadi, secara perlahan permukaan tanah akan menurun sehingga gedung dan rumah di atasnya akan ikut menurun dan tenggelam.

Sebagai kota besar, permukaan tanah Jakarta juga memiliki beban besar akibat bangunan-bangunan yang rapat dan gedung-gedung pencakar langit, sehingga semakin mempercepat penurunan tanah, padahal pengambilan tanah yang hampir tidak terkendali di Jakarta menimbulkan kehilangan tekanan, sehingga menjadi klop kondisi tersebut.

Mengecilnya sungai juga menjadi penyebab banjir di Jakarta. Berkurangnya volume sungai menyebabkan air tidak mampu terfasilitasi, sehingga sebagian air akan meluap, itulah banjir.

berkurang drastisnya wilayah resapan air di jakarta akibat permukiman, perkantoran, dan infrastruktur lain yang berkembang cepat mengakibatkan air tidak mampu lagi mersap ke dalam tanah, jalan satu-satunya tempat pelarian air adalah sungai, padahal sungai punya kapasitas terbatas apalagi semakin sempit, akhirnya banjir juga.

Selain penyebab dan kondisi di atas, banjir di Jakarta juga disebabkan oleh beralih fungsinya lahan di wilayah penyangga Jakarta seperti bogor sebagai daerah hulu sungai utama di Jakarta. Wilayah yang seharusnya merupakan wilayah resapan air berubah menjadi wilayah permukiman, infrastruktur beton, menjadi kebun sayur, dan menghilangnya hutan tanaman keras. Sehingga pada saat hujan air tidak lagi meresap ke dalam tanah atau hanya sedikit saja terjadi infiltrasi, sebagian besar masuk ke sungai, sehingga sungai menjadi kelebihan beban volume air. Air akan mengalir dengan cepat ke wilayah yang memiliki elevasi lebih rendah di Jakarta, sehingga bisa dibayangkan, bagaimana "gempuran' mendadak yang dilakukan air terhadap wilayah Jakarta. Padahal Jakarta sudah punya masalah sendiri terkait banjir.

berubahnya fungsi lahan akibat penggundulan hutan di wilayah hulu pun mempercepat proses sedimentasi yang memperkecil volume sungai. Mengecilnya volume sungai akibat sedimentasi dan perubahan ilegal lainnya (misal permukiman) sangat kontras dengan membesarnya volume air yang harus ditampung oleh sungai, tentu saja air akan meluap, dan luapan paling parah akan dialami oleh wilayah hilir.

Berkurangnya kemampuan daya resap air terhadap tanah juga diakibatkan oleh penggunaan pupuk anorganik di wilayah-wilayah pertanian, tanah menjadi keras, air tidak mampu tersimpan dalam tanah. Menurut Lingga dan Marsono (2001) tanah yang selalu diberikan tambahan pupuk anorganik tanpa diimbangi pupuk organik akan menyebabkan tanah yang mudah mengeras, pH tanah yang tidak stabil, kesulitan tanah menyimpan air dan akan menyebabkan kesuburan tanah itu sendiri menurun.

Nah masalahnya, banyak petani saat ini (mungkin mayoritas) justru tergantung pada pupuk sintetik. hampir tidak lagi menggunakan pupuk organik. Sehingga kondisi tanah yang 'teracuni' pupuk sintetik menjadi tidak cukup baik untuk meresapkan air. Air hujan menjadi tidak maksimal meresap ke dalam tanah.

Hal lainnya adalah adanya perubahan iklim. Pemanasan global (global warming) menurut beberapa penelitian memunculkan fenomena baru, salah satunya adalah durasi hujan. Durasinya menjadi cepat tetapi intensitasnya tinggi. Besarnya volume hujan dengan waktu yang cepat mengurangi kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah. Hujan yang bagus itu menurut beberapa ahli, adalah yang tidak terlalu besar, tetapi lama, sehingga air memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meresap ke dalam tanah.

Penyebab lainnya tidak lain dan tidak bukan adalah budaya masyarakat yang buruk mengenai pengelolaan sampah. Kita dengan entengnya membuang sampah sembarangan, persoalan sampah ini terjadi pada masyarakat yang tinggal di DAS dari hulu sampai hilir sungai. Sampah menghambat aliran air dan memperkecil volume sungai, menimbulkan sedimentasi yang luar biasa besarnya, dan mengahambat aliran di permukaan air.

Kembali ke pokok masalah (maaf terlalu panjang, hehe). Bagaimana mengatasi banjir di Jakarta?

Jika melihat sebab musabab dan latar belakangnya, mengatasi banjir di Jakarta sungguh kompleks, penyelesainnya tidak bisa parsial, hanya pemerintah Jakarta saja, tetapi juga melibatkan seluruh kepala daerah wilayah yang penyangganya. Karena sudah lintas pemerintah daerah, hal ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Saya akan memberikan beberapa pendapat saja, berdasarkan penyebab-penyebab di atas:

  1. Pembuatan peta air yang menyeluruh untuk menjadi pedoman pemerintah dalam merencanakan, menertibkan, dan melakukan penegakkan hukum terkait infrastruktur dan di wilayah Jakarta dan daerah penyangganya. Peta ini bukan dibatasi Jakarta saya, tetapi lintas wilayah adminsitratif.
  2. Penanganan banjir harus didasarkan secara objektif dan komprehensif, tidak karena berbau politis yang rawan perubahan saat bergantinya pemerintahan, sehingga petanya menjadi tidak memiliki arah yang jelas.
  3. Penegakkan hukum yang konsisten dan tegas, ini adalah kelemahan kita, rencana dan proses seringkali hancur akibat penegakkan hukum yang korup.
  4. Stop penambangan air tanah di Jakarta. Pertambahan penduduk akan sejalan dengan kebutuhan air, tetapi penambangan air tanah di Jakarta yang sudah melewati batas hanya akan menciptakan bencana lainnya yang tidak bisa selesai. Buat peraturan yang jelas dan konsisten untuk diterapkan.
  5. Jakarta harus berinvestasi besar untuk punya solusi teknologi pengolahan, pengelolaan, dan distribusi air yang baik dan berteknologi tinggi, yang memungkinkan air limbah sebagian besar dapat diolah kembali menjadi air bersih. Jakarta juga harus punya tempat penampungai air yang super mega besar, untuk memasok air baku untuk diolah lebih lanjut oleh perusahaan air minum. Setidaknya ini bisa membantu pasokan air baku, walaupun mungkin tidak sepanjang tahun. pasokan air baku tidak hanya berasal dari satu sumber tapi berbagai sumber air pemukaan. Sehingga semua kebutuhan air bersih warga Jakarta tidak lagi bergantung pada air tanah.
  6. Memperbaiki kualitas air sungai juga sangat penting jika digunakan sebagai sumber air baku. Kualitas yang buruk tentu saja akan membebani biaya produksi, biaya produksi yang tinggi akan meningkatkan harga jual, dan menjadi tidak ekonomis lagi bagi masyarakat. Nah, pemerintah kota Jakarta bersama pemerintah daerah penyangganya harus dengan konsisten dan tegas melakukan penegakkan hukum terhadap para pelaku pencemaran air sungai. Limbah di sungai pun tidak hanya limbah Industri tetapi juga limbah domestik yang berasal dari rumah tangga, karena itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dan penyediaan fasilitas pengolahan air limbah domestik yang jelas, berkesinambungan, dan bukan hanya sekedar proyek.
  7. Jakarta yang memiliki pendapatan paling besar (bahkan sangat besar) harus juga berinvestasi untuk memperbaiki kondisi hulu. Bekerjasama dengan pemerintah penyangga.
  8. Kota Jakarta harus ditata ulang, peta air yang telah dibuat dapat menjadi dasar utama sehingga pembuatan dan pembangunan infrastruktur tidak berdampak dan berimplikasi negatif dan justru menimbulkan atau mengalihkan wilayah banjir.
  9. Jakarta perlu menata sungai-sungainya, secara sinambung memperbaiki volume sungai dari hulu ke hilir bersama pemerintah penyangga, mengurangi sedimentasi sampai tingkat yang normal, mengangkat sedimentasi secara secara berkala, menambah volume sungai sampai volume yang cukup untuk memfasilitasi volume air sesuai analisa dan perhitungan rencana (diperhitungkan pertambahan penduduk, permukiman, dan alih fungsi lahan). Normalisasi atau naturalisasi hanya cara, yang penting perlu dilakukan dengan konsisten, dan tentu saja harus dianalisa dan diperhitungkan seluruhnya sehingga bisa efektif.
  10. Semua rumah di jakarta perlu memiliki sumur resapan dengan volume yang disesuaikan dengan besarnya lahan yang dimiliki, ini sebagai kompensasi menghilangnya lahan yang menjadi resapan air. Sejumlah volume tertentu air akan ada yang meresap ke dalam tanah di dalam sumur resapan saat hujan, jika dilkalikan sekian juta sumur resapan di seluruh Jakarta setidaknya akan mengurangi air hujan yang masuk ke sungai, sehingga mengurangi beban sungai.
  11. Infrastruktur yang dibangun harus berwawsan lingkungan. Sebeneranya saat ini pun katanya sudah ada aturannya. Tapi kok ga konsisten ya? hehe
  12. Kurangi perumahan-perumahan kumuh. Sudah saatnya pemerintah berinvestasi besar untuk memperbaiki kondisi permukiman masyarakat. Permukiman yang buruk dengan drainase yang buruk dan infrastruktur permukiman dan kesehatan yang buruk hanya akan melanggengkan kondisi dan perilaku kesehatan dan kepdulian lingkungan yang buruk, termasuk banjir. Permukiman-permukiman di bantaran sungai juga harus ditertibkan dan dialihkan, kemudian diperbaiki kondisi aliran sungainya, mempersempit sungai = bikin banjir. Merelokasi ke tempat yang lebih baik tidak sama dengan penggusuran.
  13. Infrastruktur yang dibangun di Jakarta juga harus memperhatikan kondisi lahan dan lingkungan sekitarnya, bangunan yang dibangun juga harus lengkap dengan para elemen pendukungnya, perencanaannya harus baik.
  14. Budaya pengelolaan sampah mutlak harus dilakukan! sampah itu bukan dibuang, tapi dikelola. Mulai dari rumah tangga sampai pemerintah.
  15. Air itu sederhana, prinsipnya secara alami akan mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Air akan meluap saat sungai dan saluran air tidak lagi mampu menampung volume air. Air akan menggenang dan tidak bisa mengalir dalam sebuah cekungan tanpa saluran outlet. Volume air itu tidak pernah berkurang dan bertambah dari jaman dahulu sampai sekarang, dan tanpa air maklhluk hidup tidak bisa hidup. Air itu bukan sesuatu yang murah. Maka perlu pengelolaan. Kita semua bertanggung jawab untuk itu.
  16. Satu lagi di Jakarta Utara ada banjir rob, nanti kita bahas lain waktu.

No comments:

Post a Comment

Land Subsidence dan Banjir Jakarta

Land subsidence  atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan ...