Monday, 30 January 2017
kerusakan hutan dan jalan menuju kepunahan kita...
Oleh: J.Sukmara
Suatu hari kami diperlihatkan sebuah gambar mengenai deforestasi (penggundulan hutan) di Pulau Kalimantan. Dalam slide terlihat gambar Pulau Kalimantan dalam warna hijau yang berarti hutan sejak tahun 1950 sampai dengan gambar proyeksi tahun 2020. Pulau Kalimantan merupakan wilayah yang dimiliki oleh tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Dari slide yang kami lihat saat itu, ada yang menggelitik dan cukup membuat penasaran sekaligus miris, adalah deforestasi yang terjadi di 3 negara itu tidak sama. Justru yang paling mengkhawatirkan (berdasarkan gambar tersebut) deforestasi di Pulau kalimantan yang masuk dalam wilayah Indonesia lebih cepat ketimbang wilayah Malaysia dan Brunei.
Jika dilihat gambar Pulau Kalimantan tahun 1950 seluruhnya masih berwarna hijau, yang berwarna putih hanya di beberapa tempat saja, sepertinya di sekitar daerah Banjarmasin (indonesia), Pontianak (Indonesia), Serawak (malaysia), dan mungkin Tawau (malasyia), yang jika disimpulkan saat itu hutannya masih lebat. Tahun 1985 sudah mulai banyak bercak-bercak putih, yang berarti telah terjadi penggundulan hutan di beberapa wilayah, daerah yang terjadi penggundulan hutan, terutama di wilayah utara dan barat Pulau Kalimantan, sebagian besar di wilayah Malaysia. Memasuki tahun 2000 penggundulan hutan itu semakin meluas, kali ini wilayah yang semakin berwarna putih (hutannya makin gundul) bertambah ke wilayah kalimantan sebelah Timur dan Selatan, sebagian deforestasi itu berada di wilayah Indonesia. Tahun 2005, deforestasi itu semakin meluas pesisir Pulau kalimantan sampai radius beberapa ratus kilometer ke arah tengah pulau, semakin berwarna putih. Tahun 2010, deforestasi itu semakin luas lagi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan semakin berwarna putih saja. terakhir, dengan proyeksi kecepatan penggundulan hutan, diprediksi tahun 2020, hutan Kalimantan hanya akan tersisa di bagian tengah dan sebagian wilayah utara saja.
Yang menjadi pertanyaan, jika kita cukup jeli, ternyata laju penggundulan hutan di Pulau Kalimantan wilayah Indonesia ternyata lebih cepat dari pada di wilayah Malaysia dan Brunei. Jika kita lihat di gambar tersebut, ternyata hutan di wilayah Malaysia lebih stabil, warna hijaunya masih banyak, sampai prediksi tahun 2020 pun. Tetapi sebaliknya hutan di Indonesia semakin habis, kecepatan penggundulannya cukup masif, mungkin suatu saat tidak ada lagi hutan di Pulau Kalimantan (mudah-mudahan tidak terjadi).
Sempat terpikir, mungkin deforestasi yang lebih cepat di indonesia karena jumlah penduduk Indonesia lebih banyak, sehingga kepadatan lebih tinggi dibanding wilayah Malaysia. Tetapi, setelah mencari data dari sana-sini, kepadatan penduduk Malaysia di Pulau Kalimantan justru lebih tinggi dibanding kepadatan penduduk di Pulau Kalimantan wilayah Indonesia. Setelah saya coba hitung-hitung, kepadatan penduduk di wilayah Indonesia (kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara) berjumlah 24,76 orang/km2, sedangkan di wilayah Malaysia ditambah Brunei (Serawak, Sabah, Brunei) adalah 31,5 orang/km2, lebih tinggi daripada kepadatan penduduk wilayah Indonesia. Jelas alasan kepadatan penduduk bukan menjadi penyebab cepatnya penggundulan hutan di Kalimantan wilayah Indonesia, karena ternyata penggundulan hutan di wilayah malaysia lebih lambat daripada di indonesia walaupun kepadatan penduduk malaysia di Pulau Kalimantan lebih tinggi.
Lantas, apakah penyebabnya? sebenarnya sudah menjadi rahasia umum dan menjadi bahasan yang ramai dibicarakan di Indonesia, ada banyak sekali kemungkinan penyebab penggundulan hutan yang masif di Pulau Kalimantan: pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pembukaan hutan akibat penambangan batu bara, pembukaan hutan untuk dijadikan sawah dan perkebunan rakyat, kebakaran (pembakaran?) hutan, dan sebagainya. Semuanya seringkali dibahas dan perdebatan di forum-forum formal sampai obrolan-obrolan informal. Tetapi ternyata semuanya belum dapat menghentikan atau setidaknya memperlambat penggundukan hutan itu, perubahan wajah Pulau Kalimantan dengan hutannya yang legendaris, terus terjadi, Menurut LSM Save Our Borneo (SOB) tahun 2008, diperkirakan laju kerusakan hutan (deforestasi) menjcapai 864 ribu hektar per tahun atau kira-kira sama dengan luas Kota Jakarta ditambah Kota Bekasi. Coba kita bayangkan berapa lama lagi Pulau kalimantan akan benar-benar gundul?
Hutan Pulau kalimantan sangatlah kaya akan keragaman hayati. Menurut teori, tiga hal yang mendukung kesinambungan lingkungan hidup adalah: Sinar/energi matahari (solar energy), keaneka ragaman hayati (bio diversity), dan proses/siklus kimia (chemical cycling).
Menurut para ahli, alam dapat bertahan dengan mengikuti tiga prinsip kesinambungan tersebut. Selama 3,5 milyar tahun alam dengan luar biasa telah mengahadapi dan bertahan dari perubahan-perubahan terjadi. Dalam jangka waktu yang sedemikian panjang, alam telah melewati banyak hal, berbagai bencana besar, perubahan iklim di bumi, dan sebagainya. Para ahli sepakat, untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi kita harus memperhatikan tiga hal yang dapat membuat alam ini dapat bertahan yang menjadi kesinambungan alam: Energi matahari, tanpanya tidak ada fotosintesis yang menjadi proses dasar penyediaan makanan bagi seluruh makhluk hidup, tanpanya tidak mungkin ada kehidupan, karena tanpa makanan makhluk hidup tidak mungkin bisa bertahan. Keaneka ragaman hayati, menjadi hal yang luar biasa, setiap makhluk hidup menopang kehidupan makhluk hidup lainnya, tanpa keaneka ragaman hayati, maka kehidupan akan tergoncang, menjadi tidak seimbang dan kemungkinan akan punah. Siklus kimia, menyediakan nutrisi bagi makhluk hidup, nutrisi itu didapatkan dari proses perputaran kehidupan makhluk itu sendiri. Jadi, ketiga elemen penopang kehidupan itu harus ada, kalau tidak, maka akan terjadi ketidak seimbangan alam dan akhirnya terjadi kerugian besar bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Maka, ketika keanekaragaman hayati tidak lagi ada di Pulau Kalimantan, kita sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi di sana nantinya, bagi masyarakat dan penduduk yang mendiaminya, dan bagi kita masyaakat Indonesia secara umum. Perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak dapat menggantikan keanekaragaman hayati sebuah hutan, walaupun tanaman sawit adalah juga tumbuhan. Perkebunan bersifat homogen, sedangkan hutan sangat heterogen, ada sebuah ekosistem di sana, di mana satu dengan lainnya saling memperngaruhi dan membutuhkan.
Seperti yang kita ketahui, aktivitas ekonomi menjadi penyebab utama penggundulan hutan di Pulau Kalimantan. Apakah ini salah? jawaban sebagian orang mungkin tidak. Aktivitas ekonomi itu juga untuk menyokong kehidupan manusia, masyarakat Indonesia butuh aktivitas ekonomi untuk dapat hidup dan tumbuh menjadi lebih sejahtera. Tetapi harus menjadi perhatian kita bersama, bahwa segala aktivitas ekonomi juga harus memperhatikan kebijakan memperhatikan lingkungan, karena lingkungan hidup adalah rumah kita, ketika kita rumah kita rusak, di manakah kita dapat hidup dan bernaung? Rumah yang rusak akan memberikan efek yang jauh kebih buruk dan merugikan dibanding keuntungan ekonomi yang kita dapatkan selama ini. kerusakan lingkungan bisa jadi adalah tanda-tanda dan jalan menuju kepunahan kita. Maukah kita punah karena keserakahan kita sendiri? mari kita jawab sama-sama...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Land Subsidence dan Banjir Jakarta
Land subsidence atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan ...
-
Land subsidence atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan ...
-
Oleh: J.Sukmara Sudah merupakan gambaran yang umum penataan permukiman di kota-kota besar di Indonesia dibuat berdempetan, tidak hanya di ...
-
Oleh: J.Sukmara Suatu hari kami diperlihatkan sebuah gambar mengenai deforestasi (penggundulan hutan) di Pulau Kalimantan. Dalam slide ...
No comments:
Post a Comment