Land subsidence atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan rongga kosong di dalam tanah, karena adanya gaya-gaya tektonik, karena konsolidasi tanah, dsb. Tetapi diyakini yang paling banyak berpengaruh semakin cepatnya penurunan tanah adalah akibat penambangan air tanah yang berlebihan.
Tidak hanya Jakarta yang mengalami land subsidence ini, beberapa kota besar (dan umumnya memang terjadi di kota-kota besar), seperti Bangkok, beijing, dsb. juga mengalami hal ini. Dan penyebab terbesarnya sama: penambangan air tanah yang berlebihan.
Pengeboran air tanah di Jakarta sudah dimulai sejak jaman kolonial. Dalam sejarah dicatat pengeboran air pertama di Jakarta dilakukan tahun 1843 di Benteng Frins Frederick dengan kedalaman 83 meter, kemudian membuat enam buah sumur lain, tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan air di asrama tentara dan perkantoran kolonial. Kemudian setelah dilakukan penelitian geologi tentang ketersediaan air tanah di Jakarta dan Bogor oleh Van Dienst yang ditugaskan oleh pemerintah, hasil penelitian tersebut menghasilkan dugaan bahwa di Jakarta terdapat cekungan artesis (artesian basin), kemudian berdasarkan hasil penelitian tersebut pengeboran air lebih ditingkatkan dan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Sumur artesis kemudian banyak dibuat, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya sumur yang dibuat, tekanannya terus menurun, yang dulunya tidak memerlukan pompa karena air akan menyembur ke permukaan. Dengan kedalaman sumur di aquifer yang sama didapatkan bahwa telah terjadi penurunan semburan, ini terjadi karena adanya penurunan muka piezometrik.
Gambar dari google (achmadinblog.wordpress.com) - akuifer tak tertekan (unconfined aquifer) dan akuifer tertekan (confined aquifer).
kemudian dengan bertmabh besarnya populasi Jakarta dan aktifitas ekonomi, penambangan air tanah itu semakin tidak terkendali.
Grafik kecenderungan pengambilan air tanah di Jakarta 1879 - 2007
Gambar dari google - Penurunan tanah akibat penambangan air tanah
Dampak dari eksploitasi air tanah yang berlebihan sebenarnya tidak hanya pada penurunan permukaan tanah, tetapi juga pada intrusi air laut. Intrusi air laut terjadi karena rongga tanah yang kosong diisi air laut yang bersifat korosif. Akibatnya adalah ancaman terhadap ketersediaan air bagi penduduk dan juga terhadap kondisi fondasi bangunan dan gedung di Jakarta. Jadi, apa pun alasannya, saya berpendapat bahwa kondisi penambangan air tanah ini harus bisa dikendalikan atau bahkan dihentikan sama sekali. Karena kita sebenarnya sedang menuju bencana.
Gambar dari google (Jica) - Permukiman yang sudah lebih rendah dari permukaan air laut di Jakarta Utara.
Jika permukaan tanah sudah lebih rendah dari permukaan air laut, maka bisa dipastikan, aliran air dari permukiman yang mengalir di drainase tak akan bisa dibuang ke laut.
Nah, jika sudah begini, maka jika tidak ditangani dengan baik, bencana banjir bisa terjadi setiap musim hujan.
Di Jakarta sebenarnya sudah sejak jaman dahulu dilakukan upaya pengendalian banjir. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun sistem polder. Sistem polder ini sebenarnya sudah dikembangkan oleh bangsa Belanda sejak abad ke 11, kemudian membentuk lembaga bernama waterschappen, sebuah lembaga yang bertugas mengelola tanggul dan saluran air serta tingkat permukaan air, mutu air, dan pengelolaan limbah di wilayah masing-masing.
Salah satu sistem polder yang dibangun di Jakarta adalah sistem polder pluit. berfungsi untuk mengendalikan dan menampung air dari wilayah sekitar yang memiliki permukaan sama dengan atau minus dari permukaan laut, kemudian air dipompa ke laut.
Sistem ini memiliki kapasitas yang sudah dihitung, tetapi karena pendangkalan dan pemeliharaan yang kurang, menyebabkan kapasitasnya berkurang, sehingga volume air yang ditangkap wilayah rencana melebihi kapasitas polder, akibatnya adalah banjir. Kinerja, kelaikan, kapasitas, dan keberfungsian pompa juga harus tetap dijaga.
Kita memang memerlukan tata kelola air yang mumpuni.
Jadi Jakarta seharusnya sudah mulai dengan menghentikan penambangan air tanah. Konsekuensinya adalah investasi pengelolaan air permukaan. Mau tidak mau Jakarta harus dapat menyediakan air ke seluruh penduduk dan industri di Jakarta dengan menggunakan air permukaan yang didistribusikan melalui perpipaan. Ini adalah investasi yang sangat besar, tetapi harus dilakukan. Tokyo sudah melakukannya, dan penurunan tanah sudah berhenti di tahun 70 an. Bangkok juga, dan saat ini sudah lebih baik dari Jakarta. Kita sudah ketinggalan puluhan tahun.
Sungai-sungai di Jakarta juga perlu ditata ulang, volumenya dan kapasitasnya harus dihitung ulang. Ini terkait dengan perubahan fungsi lahan di Jakarta dan wilayah penyangga yang merupakan wilayah hulu sungai yang mengalir dan bermuara di teluk Jakarta. Saya yakin dengan curah hujan yang sama volume air yang mengalir di sungai-sungai Jakarta bertambah setiap tahunnya.
Mungkin akan ada pembebasan lahan dan 'penggusuran' bantaran di daerah aliran sungai. Tidak harus menjadi sungai, tetapi akan menjadi daerah terbuka hijau, yang bisa berfungsi sebagai taman atau fasilitas terbuka publik, tetapi bisa menjadi daerah luapan saat sungai utama meluap. Tetapi air tidak akan sampai ke permukiman. Masalahnya di Indonesia selalu terjadi penyerobotan lahan, karena dirasa tempat yang kering, maka lambat-laun bisa kembali menjadi hunian, kalau sudah banjir kembali pemerintah yang diserang. Karena itu perlu penegakkan hukum yang jelas dan tegas.
Jakarta perlu banyak 'tempat parkir' air di saat musim hujan, dan bisa menjadi fasilitas publik saat musim kemarau. Sistem seperti sudah banyak dilakukan oleh negara-negara lain.
Sumur-sumur imbuhan (sumur resapan) harus secara massif dibuat untuk mengurangi volume air yang masuk ke sungai sekaligus juga sebagai injeksi air ke dalam tanah, walaupun untuk air tanah dalam di memerlukan metode injeksi yang lebih kompleks.
Terkait banjir memang tidak hanya selalu terkait secara teknis, tetapi juga sosial ekonomi. kebiasaan buruk terkait sanitasi dan sampah, harus berubah. Masyarakat Jakarta juga bertanggung jawab terkait banjir di Jakarta. Seringkali kita menemukan orang bicara sangat keras menyerang pemerintah, tetapi orang tersebut juga dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Dan banyak lagi perilaku buruk masyarakat yang sebenarnya justru menjadi penyebab banjir. Seberapa baik pun usaha pemerintah, jika masyarakat tidak memiliki kesadaran lingkungan yang baik, usaha pemerintah tidak akan berfungsi maksimal.