Saturday, 22 February 2020

Air Limbah Domestik dan kesinmbungan sarana air dan sanitasi

Masalah pencemaran air di Indonesia telah mencapai tahap darurat. Banyak sungai dan drainase yang terlihat hitam pekat dengan bau menyengat. Secara lingkungan tentu saja hal itu tidak sehat, padahal menurut Bloom 45% kesehatan dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan kondisi demikian maka tidak aneh jika sangat berpengaruh pada produktivitas, kesehatan, ekonomi, dan keunggulan sumber daya manusia. Kasus stunting (undernourished) masih terbilang tinggi di Indonesia. Stunting adalah kondisi dimana pertumbuhan fisik seorang anak tidak sesuai usianya dan perkembangan otak yang kurang, yang diakibatkan oleh gizi buruk, infeksi berulang, stimulasi psikososial yang tidak memadai. Indonesia menempati posisi ke 5 di dunia dengan jumlah balita tertinggi mengalami stunting, dari 100 balita terdapat 12 anak yang mengalami stunting (KSAN 2017). Padahal, kondisi perkembangan otak akibat stunting bersifat permanen. Ini tentu saja berpengaruh pada perkembangan bangsa. Infeksi, sebagai salah satu stunting, diakibatkan oleh kondisi kesehatan lingkungan yang buruk. 

Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui air, karena air merupakan bahan utama dalam aktivitas manusia. Terdapat 4 kelompok dalam penularan penyakit melalui air:

  1. Water borne diseases, penyakit yang ditularkan langsung melalui air yang diminum yang mengandung patogen;
  2. Water based diseases, adalah penyakit yang ditularkan oleh bibit penyakit yang sebagian siklus hidupnya di air;
  3. Water washed diseases, adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air untuk pemeliharaan higiene perorangan;
  4. Water related insect verctor diseases, adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor yang hidupnya tergantung pada air.
Masih banyak di perkotaan dan di daerah padat dimana pembuangan limbah rumah tangga dibuang
langsung ke saluran air tanpa melalui pengolahan terlebih dulu


Pemerintah dan organisasi non pemerintah sudah banyak berupaya untuk mengentaskan hal ini dengan membangun sarana sanitasi dan mendorong perubahan perilaku kesehatan (PHBS) di masyarakat melalui penyediaan air bersih dan sanitasi dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun, sampai sekarang masalah tersebut belum juga terselesaikan. Diawali melalui Target MDGs (Millenium Development Goals) 2015 yang kemudian dilanjutkan dengan uiversal akses tahun 2019 yang mentargetkan 100 persen akses air dan sanitasi, namun rupanya belum tercapai, kemudian ditargetkan kembali melalui SDGs (Sustainable Development Goals) 2030 yang mentargetkan 100-0-100 (100 persen akses aman air bersih), 0 persen kawasan kumuh, dan 100 persen akses layak sanitasi di seluruh Indonesia. Walaupun sampai saat ini belum tercapai akses 100 persen tapi progress terus meningkat.

Namun, pertanyaannya apakah target tersebut akan tercapai di tahun 2030? kenyataan di lapangan sering terjadi di masyarakat yang akses air bersih dan sanitasinya sudah meningkat melalui penyediaan sarana dari pemerintah dan lembaga lain bahkan ada yang sudah 100% memiliki akses air bersih dan sanitasi, lalu beberapa waktu kemudian kembali lagi aksesnya menurun. Persoalan pengelolaan sarana oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang diberi tanggung jawab, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sarana sanitasi dan air bersih perlu pengelolaan dan pemeliharan untuk dapat berkesinambungan dan berkembang, hal ini masih menjadi ganjalan karena tidak semua (bahkan mungkin mayoritas) pengelola air bersih maupun sanitasi tidak memiliki cukup kapasitas untuk melakukan itu, padahal upaya pemerintah pun sudah cukup keras, pemberdayaan masyarakat menjadi basis dalam setiap program yang digulirkan ke masyarakat, masyarakat terlibat langsung mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dampai pemeliharaan sarana, yang salah satu produknya adalah terbentuknya badan atau kelompok pengelola sarana. Kelompok sarana ini pun harus bersinergi dengan BUMDES yang sudah diwajibkan ada di seluruh desa. Namun, setali tiga uang, baik BUMDES maupun kelompok pengelola yang dibentuk sama-sama banyak yang tidak jalan. Akhirnya sarana tidak terkelola dan terpelihara dengan baik, sudah dipastikan sarana tesebut akan rusak dan tidak berfungsi, akhirnya akses kembali menurun.

Air limbah dapat dibagi ke dalam ke dalam 3 jenis: Air limbah domestik yang berasal dari buangan rumah tangga, air limbah industri dan air limbah pertanian, dan air limbah dari perkantoran dan pertokoan (Nusa Idaman Said, 2017). Air limbah domestik atau rumah tangga terdiri dari air limbah kakus/toilet (black water) dan air limbah non kakus (grey water). Menurut penelitian (Iwai, 1978) rata-rata setiap orang mengeluarkan kotoran tinja sebanyak 1,2 liter. Menurut hasil penelitian Pemda DKI tahun 1990 air buangan dari rumah tangga per hari adalah 118 liter dengan konsentrasi BOD (Biological Oxygen Demand) rata-rata 236 mg/l., dan diproyeksikan menjadi 147 liter pada tahun 2010, dengan BOD rata-rata 224 mg/l.  Dilihat dari beban polutan organiknya, air limbah rumah tangga sekitar 70%, air limbah perkantoran 14%, dan air limbah industri sekitar 16%. Dengan demikian, air limbah rumah tangga dan air limbah perkantoran menjadi penyumbang terbesar terhadap pencemaran air di Jakarta, dan mungkin memiliki komposisi yang hampir sama di seluruh Indonesia.

Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
pH

6-9
BOD
Mg/L
30
COD
Mg/L
100
TSS
Mg/L
30
Lemak dan minyak
Mg/L
5
Amoniak
Mg/L
10
Total Coliform
Jml/100 ml
3.000
Debit /O/hr
L/O/Hr
100
Sumber: Permen LHK No. P. 68 tahun 2016













Land Subsidence dan Banjir Jakarta

Land subsidence  atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan ...