Monday 30 January 2017

Sanitasi kita: Septic tank atau cubluk?

Oleh: J.Sukmara

Sudah merupakan gambaran yang umum penataan permukiman di kota-kota besar di Indonesia dibuat berdempetan, tidak hanya di kawasan permukiman "campur-campur" yang sebagian besar masyarakatnya adalah menengah ke bawah, tetapi juga desain perumahan-perumahan dengan harga yang menengah bahkan mahal, juga dibuat berderet dan berdempetan. Semuanya memang dibuat demikian, Secara bisnis hal tersebut untuk mengurangi biaya, memperkecil harga rumah, dan memaksimalkan space tanah yang ada. Harga tanah menjadi faktor utama yang mempengaruhi harga rumah sekaligus juga pendapatan bagi si pengembang. Di permukiman di luar kompleks perumahan, masyarakat membuat rumah dengan memaksimalkan lahan yang ada, sehingga luas bangunan seringkali sama dengan luas tanah.

Akibat dari sistem seperti itu, seharusnya juga difikirkan sistem sanitasi dan air bersih yang baik. Sudah menjadi gambaran umum juga di perkotaan, tidak seluruh masyarakat mendapatkan pelayanan air dari PDAM atau perusahaan air minum perpipaan. Prosentase cakupan pelayanan PDAM juga berbeda beda di tiap wilayah, bergantung pada kondisi PDAM dan sumber air baku yang tersedia. Walaupun dalam RPJMN maupun universal akses ditargetkan tahun 2019 semua masyarakat sudah dapat terakses oleh air besrih yang aman, tetapi saat ini kondisinya masih cukup jauh, angkanya masih sekitar 65-68% masyarakat urban (perkotaan) secara nasional yang sudah terakses air bersih perpipaan tersebut. Artinya, masih cukup banyak masyarakat yang mendapatkan air bersih dari sumber lainnya. 

Umumnya sebagai solusi yang dilakukan masyarakat perkotaan untuk mendapatkan air besrih adalah dengan membuat sumur, sumur gali maupun sumur bor. Sebagian lainnya mempergunakan air kemasan maupun isi ulang. Kedua upaya tersebut bukan tanpa resiko. Secara ekonomi, air kemasan maupun isi ulang memiliki biaya cukup tinggi, karena air dihitung berdasarkan galon, berbeda dengan air PDAM yang dihitung berdasarkan kubik. Isi satu galon air rata-rata adalah 19 liter, sedangkan PDAM menghitung harga air per meter kubik atau 1000 liter. Tentu saja jauh sekali bedanya, padahal harga air kemasan satu galon bisa 3-5 kali lipat harga per m3 air PDAM, atau untuk air isi ulang harga per galon air (19 liter) bisa sama dengan harga harga 1 m3 air PDAM. Jadi, secara ekonomi ini cukup memberatkan bagi masyarakat. 

Resiko lain adalah resiko lingkungan. Desain pemukiman yang berdempetan memiliki resiko sumur tercemar air limbah domestik. Menurut kesehatan jarak aman antara sumber pencemar dengan sumber air harus tidak kurang dari 10 meter, karena diperhitungkan dalam jarak sekian bakteri mati sebelum mencapai sumber air. Tetapi, yang ada di permukiman kita, justru jarak antara sumur dengan sumber cubluk seringkali hanya beberapa meter saja, kadang-kadang malah berdempetan, hanya dipisahkan benteng atau tembok tetangga. Tentu saja hal ini sangat berisiko. Sehingga sering ditemukan sumur-sumur warga airnya kotor, berbusa, dan bau, kemungkinan hal ini karena pencemaran dari air limbah domestik.

Gaya pembangunan sarana penampungan air limbah yang banyak ditemukan juga masih berupa lubang tanpa perkerasan dan pengkedapan. Jadi limbah yang masuk ke dalam lubang penampungan air limbah meresap langsung ke dalam tanah, dan dengan dekatnya jarak antara sumur dengan penampungan limbah tersebut, pencemaran dengan cepat terjadi pada air sumur. hal ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Padahal pencemaran ini merupakan pintu gerbang bagi merebaknya penyakit-penyakit berbasis lingkungan, seperti diare, dsb. 





Sebetulnya ada dua sistem yang dapat dapat diterapkan di perkotaan, dengan sistem onsite (setempat), atau sistem offsite (terpusat). Sistem pengolahan setempat dengan membangun septic tank dengan standar (SNI). Harus dibedakan istilah septic tank dan cubluk yang biasa ada di masyarakat, karena masyarakat juga terbiasa menyebut cubluk dengan sebutan septic tank. Dari segi bahasa juga sebenarnya sudah jelas, septic tank merupakan penampungan yang kedap, artinya ir limbah yang masuk tidak akan meresap ke bawah maupun ke pinggir lubang. Air limbah yang masuk dengan membawa residu atau kotoran berupa tinja serta air limbah bekas cuci, mandi dsb, dproses secara bakteriologis dan kimiawi. Mikroba anaerob dalam septic tank menguraikan air limbah secara lambat hingga berbulan-bulan sampai kemudian limbah tersebut terurai. Endapan limbah akan terjadi di dalam septic tank yang biasa disebut lumpur tinja yang harus disedot (dikeluarkan) dan diolah kembali di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), sampai kemudian aman untuk dibuang atau dikembalikan ke alam dan dapat menjadi pupuk. Di dalam septic tank pun terjadi proses kimiawi, dengan meningkatkan jumlah oksigen yang terkandung di dalam air limbah. Semakin tinggi kebutuhan oksigen semakin tercemar air limbah tersebut. kebutuhan oksigen terebut biasa dinamakan dengan Chemical Oxigen Deman (COD), kebutuhan oksigen untuk menguraikan air limbah. Jadi, terjadi proses panjang yang cukup kompleks dalam septic tank, sampai kemudian air yang telah aman dapat meluap dan dibuang ke saluran air. Sedangkan lumpur tinja disedot setipa dua atau tiga tahun sekali dan diproses di IPLT. Penyedotan jangan melebihi terlalu lama, setelah empat atau lima tahun lmpur tersebut akan mengeras, dan akan mempengaruhi proses penguraian di dalam septic tank. 

Cara atau sisem kedua yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan sistem offsite (terpusat). Air limbah black water (dari closet) dan grey water (dari bekas cucian, mandi, dsb), masuk ke dalam jaringan pipa dalam satu wilayah atau kawasan. kemudian air limbah terbut masuk ke dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan akan diproses di sana, IPAL yang tanpa dilengkapi dengan instalasi proses lanjutan, dalam kurun waktu tertentu lumpur tinja harus disedot dan diproses di IPLT. IPAL yang disesain lengkap, proses pengolahan air limbah dan lumpur tinja sampai pada tahap akhir, sampai lumpur tinja tersebut aman untuk dibuang ke alam atau dijadikan pupuk. 







Jadi, seharusnya sistem tersebutlah yang harus diterapkan di permukiman di perkotaan atau di permukiman lain yang padat. Untuk mencapainya mutlak diperlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang sarana sanitasi yang sehat. Selain itu juga diperlukan desain dan investasi yang besar dari pemerintah. Dengan kesehatan yang maningkat, akan berdampak pada peningkatan produktivitas yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. 

Jadi, jika anda punya "septic tank" (menurut istilah awam) tetapi setelah bertahun bahkan berpuluh tahun tidak pernah penuh dan disedot, anda dapat menyimpulkan sarana penampungan seperti apa yang anda miliki, cubluk atau septic tank. 

kerusakan hutan dan jalan menuju kepunahan kita...


Oleh: J.Sukmara

Suatu hari kami diperlihatkan sebuah gambar mengenai deforestasi (penggundulan hutan) di Pulau Kalimantan. Dalam slide terlihat gambar Pulau Kalimantan dalam warna hijau yang berarti hutan sejak tahun 1950 sampai dengan gambar proyeksi tahun 2020. Pulau Kalimantan merupakan wilayah yang dimiliki oleh tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Dari slide yang kami lihat saat itu, ada yang menggelitik dan cukup membuat penasaran sekaligus miris, adalah deforestasi yang terjadi di 3 negara itu tidak sama. Justru yang paling mengkhawatirkan (berdasarkan gambar tersebut) deforestasi di Pulau kalimantan yang masuk dalam wilayah Indonesia lebih cepat ketimbang wilayah Malaysia dan Brunei.

Jika dilihat gambar Pulau Kalimantan tahun 1950 seluruhnya masih berwarna hijau, yang berwarna putih hanya di beberapa tempat saja, sepertinya di sekitar daerah Banjarmasin (indonesia), Pontianak (Indonesia), Serawak (malaysia), dan mungkin Tawau (malasyia), yang jika disimpulkan saat itu hutannya masih lebat. Tahun 1985 sudah mulai banyak bercak-bercak putih, yang berarti telah terjadi penggundulan hutan di beberapa wilayah, daerah yang terjadi penggundulan hutan, terutama di wilayah utara dan barat Pulau Kalimantan, sebagian besar di wilayah Malaysia. Memasuki tahun 2000 penggundulan hutan itu semakin meluas, kali ini wilayah yang semakin berwarna putih (hutannya makin gundul) bertambah ke wilayah kalimantan sebelah Timur dan Selatan, sebagian deforestasi itu berada di wilayah Indonesia. Tahun 2005, deforestasi itu semakin meluas pesisir Pulau kalimantan sampai radius beberapa ratus kilometer ke arah tengah pulau, semakin berwarna putih. Tahun 2010, deforestasi itu semakin luas lagi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan semakin berwarna putih saja. terakhir, dengan proyeksi kecepatan penggundulan hutan, diprediksi tahun 2020, hutan Kalimantan hanya akan tersisa di bagian tengah dan sebagian wilayah utara saja.

Yang menjadi pertanyaan, jika kita cukup jeli, ternyata laju penggundulan hutan di Pulau Kalimantan wilayah Indonesia ternyata lebih cepat dari pada di wilayah Malaysia dan Brunei. Jika kita lihat di gambar tersebut, ternyata hutan di wilayah Malaysia lebih stabil, warna hijaunya masih banyak, sampai prediksi tahun 2020 pun. Tetapi sebaliknya hutan di Indonesia semakin habis, kecepatan penggundulannya cukup masif, mungkin suatu saat tidak ada lagi hutan di Pulau Kalimantan (mudah-mudahan tidak terjadi).

Sempat terpikir, mungkin deforestasi yang lebih cepat di indonesia karena jumlah penduduk Indonesia lebih banyak, sehingga kepadatan lebih tinggi dibanding wilayah Malaysia. Tetapi, setelah mencari data dari sana-sini, kepadatan penduduk Malaysia di Pulau Kalimantan justru lebih tinggi dibanding kepadatan penduduk di Pulau Kalimantan wilayah Indonesia. Setelah saya coba hitung-hitung, kepadatan penduduk di wilayah Indonesia (kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara) berjumlah 24,76 orang/km2, sedangkan di wilayah Malaysia ditambah Brunei (Serawak, Sabah, Brunei) adalah 31,5 orang/km2, lebih tinggi daripada kepadatan penduduk wilayah Indonesia. Jelas alasan kepadatan penduduk bukan menjadi penyebab cepatnya penggundulan hutan di Kalimantan wilayah Indonesia, karena ternyata penggundulan hutan di wilayah malaysia lebih lambat daripada di indonesia walaupun kepadatan penduduk malaysia di Pulau Kalimantan lebih tinggi.

Lantas, apakah penyebabnya? sebenarnya sudah menjadi rahasia umum dan menjadi bahasan yang ramai dibicarakan di Indonesia, ada banyak sekali kemungkinan penyebab penggundulan hutan yang masif di Pulau Kalimantan: pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pembukaan hutan akibat penambangan batu bara, pembukaan hutan untuk dijadikan sawah dan perkebunan rakyat, kebakaran (pembakaran?) hutan, dan sebagainya. Semuanya seringkali dibahas dan perdebatan di forum-forum formal sampai obrolan-obrolan informal. Tetapi ternyata semuanya belum dapat menghentikan atau setidaknya memperlambat penggundukan hutan itu, perubahan wajah Pulau Kalimantan dengan hutannya yang legendaris, terus terjadi, Menurut LSM Save Our Borneo (SOB) tahun 2008, diperkirakan laju kerusakan hutan (deforestasi) menjcapai 864 ribu hektar per tahun atau kira-kira sama dengan luas Kota Jakarta ditambah Kota Bekasi. Coba kita bayangkan berapa lama lagi Pulau kalimantan akan benar-benar gundul?

Hutan Pulau kalimantan sangatlah kaya akan keragaman hayati. Menurut teori, tiga hal yang mendukung kesinambungan lingkungan hidup adalah: Sinar/energi matahari (solar energy), keaneka ragaman hayati (bio diversity), dan proses/siklus kimia (chemical cycling).





Menurut para ahli, alam dapat bertahan dengan mengikuti tiga prinsip kesinambungan tersebut. Selama 3,5 milyar tahun alam dengan luar biasa telah mengahadapi dan bertahan dari perubahan-perubahan terjadi. Dalam jangka waktu yang sedemikian panjang, alam telah melewati banyak hal, berbagai bencana besar, perubahan iklim di bumi, dan sebagainya. Para ahli sepakat, untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi kita harus memperhatikan tiga hal yang dapat membuat alam ini dapat bertahan yang menjadi kesinambungan alam: Energi matahari, tanpanya tidak ada fotosintesis yang menjadi proses dasar penyediaan makanan bagi seluruh makhluk hidup, tanpanya tidak mungkin ada kehidupan, karena tanpa makanan makhluk hidup tidak mungkin bisa bertahan. Keaneka ragaman hayati, menjadi hal yang luar biasa, setiap makhluk hidup menopang kehidupan makhluk hidup lainnya, tanpa keaneka ragaman hayati, maka kehidupan akan tergoncang, menjadi tidak seimbang dan kemungkinan akan punah. Siklus kimia, menyediakan nutrisi bagi makhluk hidup, nutrisi itu didapatkan dari proses perputaran kehidupan makhluk itu sendiri. Jadi, ketiga elemen penopang kehidupan itu harus ada, kalau tidak, maka akan terjadi ketidak seimbangan alam dan akhirnya terjadi kerugian besar bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Maka, ketika keanekaragaman hayati tidak lagi ada di Pulau Kalimantan, kita sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi di sana nantinya, bagi masyarakat dan penduduk yang mendiaminya, dan bagi kita masyaakat Indonesia secara umum. Perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak dapat menggantikan keanekaragaman hayati sebuah hutan, walaupun tanaman sawit adalah juga tumbuhan. Perkebunan bersifat homogen, sedangkan hutan sangat heterogen, ada sebuah ekosistem di sana, di mana satu dengan lainnya saling memperngaruhi dan membutuhkan.

Seperti yang kita ketahui, aktivitas ekonomi menjadi penyebab utama penggundulan hutan di Pulau Kalimantan. Apakah ini salah? jawaban sebagian orang mungkin tidak. Aktivitas ekonomi itu juga untuk menyokong kehidupan manusia, masyarakat Indonesia butuh aktivitas ekonomi untuk dapat hidup dan tumbuh menjadi lebih sejahtera. Tetapi harus menjadi perhatian kita bersama, bahwa segala aktivitas ekonomi juga harus memperhatikan kebijakan memperhatikan lingkungan, karena lingkungan hidup adalah rumah kita, ketika kita rumah kita rusak, di manakah kita dapat hidup dan bernaung? Rumah yang rusak akan memberikan efek yang jauh kebih buruk dan merugikan dibanding keuntungan ekonomi yang kita dapatkan selama ini. kerusakan lingkungan bisa jadi adalah tanda-tanda dan jalan menuju kepunahan kita. Maukah kita punah karena keserakahan kita sendiri? mari kita jawab sama-sama...














Land Subsidence dan Banjir Jakarta

Land subsidence  atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan ...