Thursday, 28 January 2021

Membangun Rumah Tahan Gempa

 

Membangun rumah tahan gempa di Indonesia cukup penting, mengingat sebagian besar wilayah Indonesia adalah daerah rawan gempa. Pergerakan dan tumbukan antar lempeng dan pelepasan energi yang terjadi akibat gesekan tersebut merupakan penyebab gempa tektonik yang sering terjadi, dan Indonesia adalah negara yang dilalui oleh tiga lempeng: Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Sampai saat ini belum ada alat yang dapat menentukan kapan gempa bumi akan terjadi. Korban dalam setiap terjadinya gempa seringkali bukan karena gempa itu sendiri, tetapi karena tertimpa bangunan, karena itu sangat penting membuat bangunan yang dapat menahan goncangan gempa.

Pada saat gempa, getaran akan menjalar ke segala arah, bangunan yang berada di atas tanah akan memberikan respon. Pada tahap awal getaran, struktur bawah bangunan akan merespon terlebih dahulu dan akan bergerak sesuai arah getaran, bagian atas bangunan akan diam pada posisinya, kemudian karena ikatan dinding, kolom, dan ringbalk, bagian atas bangunan akan ikut tertarik ke arah yang sama. Rambatan getaran kemudian akan menjalar ke konstruksi bawah rumah dan fondasi.

Struktur bangunan memang sebaiknya dihitung beban-beban yang terjadi, termasuk beban gempa. Tetapi perhitungan beban ini tentu saja tidak bisa dilakukan oleh semua orang, bahkan tukang sekali pun. Perlu tenaga ahli sipil atau arsitektur untuk menghitung kekuatan struktur yang aman.

Rumah tinggal tapak umumnya merupakan bangunan yang sederhana yang dibangun jarang yang sampai lebih dari dua atau tiga lantai, sehingga beban bangunan tidak seberat gedung bertingkat tinggi, dan perhitungan struktur pun tidak sulit.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun rumah tahan gempa (sesuai beban gempa rencana) di bagian struktural.

Pertama, denah bangunan sebaiknya sederhana tidak terlalu panjang, dan harus simetris terhadap sumbu bangunan. Jika ternyata diharuskan membuat bangunan tidak simetris, maka denah bangunan harus dipisah sehingga denah bangunan tetap merupakan denah yang simetris, akan terdapat celah dilatasi selebar 0.004 x tinggi gedung/rumah atau minimal 7,5 - 10 cm ambil yang terbesar.

Begitu pun dengan dinding-dinding penyekat dan bukaan pintu, harus ditempatkan simetris terhadap sumbu bangunan.

Kedua, fondasi dan sloof. Fondasi adalah bagian struktur dasar yang sangat penting. Karena itu perlu diperhatikan fondasinya agar jika mendapat gaya tertentu tidak runtuh. Dalam bangunan tempat tinggal yang sederhana, umumnya kita menggunakan dua jenis fondasi: fondasi beton dan fondasi batu kali atau kombinasi keduanya. Fondasi menerus ke sekeliling bangunan termasuk sekat. Fondasi menerus harus ditempatkan di tanah keras seluruhnya, jangan menempatkan dasar fondasi di tanah yang berbeda kekerasannya karena rawan terjadi patahan dan penurunan struktur. Fondasi yang baik harus simetris dengan kedalaman tidak boleh kurang dari 45 cm.

Sloof sebagai bagian dari struktur berfungsi sebagai penyalur beban ke fondasi akan terikat dengan kolom-kolom. Kolom harus terikat ke fondasi.

Gambar dari google.

Ketiga, kualitas beton. Beton untuk bagian struktur, sebaiknya tidak boleh kurang dari 20 MPa (mega pascal). Mudahnya jika beli beton ready mix kita bisa memesan beton kualitas minimal K 225 (fc=19.3 MPa) atau K 250 (fc=21.7 MPa). Jika kita membuatnya sendiri, dengan merujuk pada SNI atau Permen PUPR tentang analisa harga satuan pekerjaan, untuk mendapatkan 1 m3 beton kualitas K 250, perbandingan bahannya adalah semen = 384 kg (8 zak semen) 50 kg), 692 kg pasir beton (sekitar 0.5 m3) dan 1039 kg kerikil (sekitar 0,8 m3).

Keempat, Tulangan. Persendian struktur bangunan adalah yang paling rawan terjadi patahan dalam kejadian gempa. Persendian yang tidak saling terkait memiliki kerawanan untuk mudah terjadi patah yang akhirnya struktur tak akan mampu lagi menopang bangunan dan terjadi keruntuhan. Karena itu maka tulangan harus terjalin dengan baik dengan penjangkatan dan kaitan serta alat mekanis lainnya, sehingga tarikan dan tekanan yang terjadi dapat tersalurkan.

Gambar dari google ( Sanggaprama.com)

Tulangan sebaiknya menggunakan diameter minimum 10–12 mm dengan tulangan sengkang minimum 8 mm dengan jarak 15 cm. Perhitungan diameter tulangan sebetulnya akan tergantung dari hasil perhitungan beban-beban yang terjadi. Jarak tulangan dan sengkang juga bisa berbeda antara tumpuan dan lapangan.

Kelima, Dinding. Untuk mendapatkan dinding yang mempunyai tahanan terhadap beban yang timbul akibat pergerakan struktur, diperlukan jangkar-jangkar dengan angkur besi atau seng yang dibentuk dan dipasang dalam jarak tertentu, yang dapat mengikat dinding dengan struktur.

Gambar dari google (steemit.com) hubungan dengan besi diameter minimal 10 mm sepanjang minimal 40 cm.

Keenam, ring balok. Ringbalok terikat dengan kolom-kolom dan pada sudut-sudut pertemuan terikat kuat antara ringbalk dan kolom.

Gambar dari google (archify.com) Ikatan antara tulangan ring balok dengan kolom.

Ketujuh, Kuda-kuda rangka atap harus diperhatikan. Untuk rumah hunian sederhana kita biasanya menggunakan dua jenis rangka atap, rangka kayu dan baja ringan. Untuk membuat rangka atap ini selain dimensi balok kayu ketebalan baja ringan, jumlah dan ukuran paku, baut, dan sekrup, juga harus diperhitungkan kuda-kudanya.

Apakah membangun rumah tahan gempa mudah? sebenarnya untuk rumah atau bangunan hunian sederhana relatif tidak terlalu sulit, asal prinsipnya diikuti.

Ini mungkin tulisan sederhana. Tetapi intinya, sudah cukup penting membangun rumah dengan memperhitungkan ketahanannya terhadap gempa, mengingat Indonesia adalah negara yang sangat rawan gempa. Korban terjadi bukan akibat gempanya, tetapi karena struktur atau kondisi lingkungan di sekitarnya yang tidak tahan terhadap getaran akibat gempa, yang kemudian rubuh dan menimpa manusia.

Terima kasih…

Friday, 15 January 2021

Membangun Jamban Umum

 

Gambar Jamban umum

Jamban merupakan sarana sanitasi, tempat orang-orang dapat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan sekresi, dimana tinja dan urin dikeluarkan dan dibuang. Jamban juga menjadi tempat orang-orang untuk melakukan aktivitas kebersihan, seperti mandi dan mencuci.

Nah, karena itu, maka jamban itu sebetulnya bukanlah bangunan yang sangat sederhana, karena ada limbah yang kemudian harus diproses sebelum effluent nya dibuang ke badan air permukaan di sungai atau saluran air. Sehingga jamban tidak hanya sekedar bangunan atas, tetapi ada bangunan bawah. Dan jika dibangun dengan benar, bangunan bawah ini cukup mahal.

Saya akan mencoba gambarkan sedikit saja saat kita akan membangun jamban. Tentu saja jamban umum, seperti toilet sekolah tersebut. Urutan prosesnya sama seperti membangun bangunan lainnya.

Pembangunan jamban dimulai dengan merencanakan jamban untuk kapasitas berapa orang. Di sini kita juga menghitung antrian. dalam antrian ini tentu saja yang pertama adalah menentukan jumlah populasi, kemudian kebiasaan penggunaan, dan waktu rata-rata. Dari perhitungan ini akan didapat berapa jumlah kamar atau fasilitas urinoir yang diperlukan. Termasuk berapa banyak kran untuk fasilitas cuci atau wudhu. Ini baru memperhitungkan bangunan atas.

Untuk bangunan bawahnya, dari jumlah populasi pengguna kita akan menghitung jumlah limbah cair (limbah kloset dan non kloset) yang dihasilkan, tentu saja juga dengan memperhitungkan saat jam puncak (peak hour). Dalam perhitungan ini akan dihitung dan dianalisa hydrolic retention time (HRT) atau waktu tinggal, BOD dan COD yang masuk, surface loading (beban permukaan), Efisensi yang diharapkan, BOD dan COD keluaran yang diharapkan, kecepatan aliran, dsb. kemudian akan didapatkan berapa volume bak settler, volume bak reaktor, dan volume media mikrobiologi filter yang diperlukan. Ini jika pengolahan cukup sampai pengolahan secara anaerobik. Jika ingin diteruskan sampai pengolahan aerobik atau kombinasi, maka perlu juga diperhitungkan kapasitas dan jumlah blower, listrik, dsb.

Tidak selesai sampai di situ, jika ingin lebih lengkap diperlukan beberapa komponen lain, seperti bak bio kontrol, bak disinfeksi, dsb.

Nah, ternyata biaya untuk pembuatan bangunan bawah ini bisa sama dengan biaya untuk pembangunan bangunan atas, bahkan bisa lebih mahal.

Bangunan bawah, atau sarana pengolah limbah ini harus dibuat kedap air dan tidak bocor sehingga dapat mencemari air tanah atau lingkungan sekitar, sehingga harus menggunakan beton dengan tulangan yang juga harus memperhitungkan tekanan lateral tanah dan hidrostatis. Seringkali juga harus dilengkapi dengan waterstop untuk mencegah kebocoran akibat perbedaan waktu pengecoran beton. Campuran beton juga harus ditambahkan zat additif waterprofing untuk mengisi rongga-rongga halus untuk mencegah kebocoran. Beberapa bahkan juga ditambahkan dengan plesteran dan acian di dinding bak beton (septik tank atau IPAL dan sekat-sekat kompartemen). Septik tank atau IPAL dibuat sedemikian rupa sehingga waktu tinggal dan aliran air menjadi lebih lama dan merata serta bersentuhan dengan media biofilter, fungsinya adalah semakin lama maka akan semakin banyak waktu limbah tersebut dapat diuraikan oleh mikroorganisme secara biologi.

Selain beton, saat ini juga banyak Septik tank atau IPAL pabrikan yang terbuat dari bahan fiber. Harganya cukup mahal dan bergantung kapasitasnya. Jika dibandingkan, biaya jika membangun dengan menggunakan IPAL atau septik tank beton dengan yang pabrikasi hampir sama saja.

IPAL atau septik tank ini juga harus dilengkapi dengan manhole-manhole, tutupnya bisa menggunakan beton, plat besi, atau besi cetak.

Untuk biaya bangunan atas per meter perseginya, toilet sebenarnya bisa lebih mahal jika dibandingkan dengan bangunan lainnya. Kita harus mengeluarkan biaya untuk keramik dinding, lantai, bak, kran, instalasi pipa air bersih dan air kotor, kloset, ventilasi, floordrain, pencahayaan, dan pelengkap lainnya. Plus upah pemasangan komponen-komponen tersebut.

Semuanya dihitung dan direncanakan disesuaikan antara kebutuhan dengan biaya yang tersedia.


Thursday, 7 January 2021

Jangan Buang Minyak Ke Saluran Air





Gambar dari google (dr.pipa) - Pipa yang mampet karena minyak

Jangan pernah membuang minyak ke saluran air! 

Perhatikan ke mana limbah toilet (black water) anda berakhir, di saluran pembuangan air limbah domestik kota yang akan berakhir di IPAL (instalasi pengolahan air limbah) seperti yang dikelola PD. PAL di Jakarta, di IPAL skala permukiman atau kawasan yang lebih kecil, di septik tank komunal bersama beberapa tetangga anda, atau di septik tank individual?

Atau bahkan mungkin dibuang langsung ke sungai atau saluran air. Yang ini jelas salah, karena limbah domestik yang dihasilkan rumah tangga baik limbah kloset (black watermaupun non kloset (grey water) keduanya adalah limbah yang seharusnya diolah terlebih dahulu sehingga aman saat dibuang ke badan air.

Aturan yang mengatur tentang baku mutu air limbah domestik yang aman sudah diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. P.68/Menlhk-Setjen/2016. Air limbah tanpa pengolahan memiliki BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang tinggi.

BOD adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik.

Sedangkan COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air.

Limbah cair domestik mengandung 99,9% air dan 0,1% zat padat. Zat padat terdiri dari 85% protein, 25% karbohidrat, 10% lemak dan sisanya zat anorganik terutama butiran pasir, garam-garam dan logam.

Pengolahan air limbah domestik biasanya dilakukan secara biologis dengan mempergunakan mikroorganisme baik secara anaerobik, aerobik, maupun kombinasi keduanya.

Prinsip pengolahan limbah secara biologi adalah pemanfaatan aktivitas mikroorganisme seperti bakteri, fungi, dan protozoa. Mikroorganisme tersebut merombak limbah organik menjadi senyawa organik sedeerhana dan mengkonversikannya menjadi karbondioksida, air, dan energi untuk pertumbuhan dan reproduksinya.

Di dalam tangki septik atau IPAL bahan organik tersebut akan didegradasi oleh mikroorganisme pengurai menjadi gas dan bahan organik sederhana lainnya. Sedangkan sisa bahan yang tidak dapat diuraikan mengendap menjadi lumpur.

Nah, karena proses degradasi limbah organik ini melalui proses biologis, maka jika minyak ikut masuk ke dalam IPAL atau septik tank akan mempengaruhi proses penguraian tersebut.

Berdasarkan sifat fisiknya, minyak dan lemak merupakan senyawa yang tidak larut dalam air namun dapat larut dalam pelarut yang kepolarannya lemah atau pelarut nonpolar. Minyak mempunyai berat jenis lebih kecil dari air sehingga akan membentuk lapisan tipis di permukaan air. Kondisi ini dapat mengurangi konsentrasi oksigen dalam air karena fiksasi oksigen bebas terhambat.

Minyak jika masuk ke dalam saluran akan membentuk lapisan dan membeku saat terjadi pendinginan sehingga dapat terjadi sumbatan. Hal ini menjadi tidak mudah karena letak sumbatan, penanganan dan efeknya tidakkah sederhana.

Maka dalam sistem yang sudah baik, setiap rumah tangga dilengkapi dengan unit penangkap lemak (grease trap) untuk memisahkan air dan minyak sebelum masuk ke saluran dan IPAL atau septik tank sehingga tidak menjadi masalah krmudian.

Karena itu jangan sekali-kali membuang minyak ke kloset atau saluran air non kloset. Itu adalah masalah yang tidak sederhana seperti saat membuangnya.

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

 

Gambar dari google (kompasiana.com). Gunungan sampah di TPA

Sampah adalah limbah yang dihasilkan oleh semua orang, dari bayi sampai orang lanjut usia. Selama orang itu hidup, maka selama itu pula sampah akan dihasilkan. Karena itu permasalahan sampah akan menjadi hal yang akan terus akrab sampai kapan pun. Pemerintah mengucurkan anggaran sangat besar untuk pembuangan sampah ini, karena tidak hanya terkait pada restribusi pembuangan saja, tetapi juga kompensasi sosial akibat adanya mobilisasi sampah. Pemerintah Jakarta saja misalnya, perlu mengucurkan Rp. 300 milyar per tahun untuk restribusi dan kompensasi pembuangan sampah ke Bantar Gebang saja. Jadi, masalah sampah ini tidaklah sederhana dan sangat mahal.

Tentang sampah, sekarang tinggal bagaimana kita memandangnya. Apakah tetap akan menganggapnya sebagai barang sisa yang tak bernilai, atau sebagai barang yang dapat diolah kembali secara berkelanjutan.

Sampai saat ini mindset kita masih kuat dengan istilah "membuang sampah" atau "tempat pembuangan sampah" bahkan secara resmi pemerintah pun masih menggunakan nama itu, misal: "Tempat Pembuangan Akhir" dsb. 

Sampah sebagai barang sisa pakai, sebenarnya memiliki nilai ekonomi, yang lebih penting sampah sebagai barang sisa, tidak perlu berakhir di tempat pembuangan akhir dan menjadi barang yang dilupakan terkubur bersama tanah dan menjadi penambah pencemaran lingkungan.

Karena itu, maka penanganan sampah perlu diubah, bukan dengan cara "membuang" tetapi "mengelola" . Kita harus tinggalkan istilah dan penamaan "membuang" supaya pola pikir kita juga berubah.

Bagaimana kita mengelolanya?

Sampah yang dihasilkan rumah tangga umumnya secara garis besar dibedakan menjadi tiga macam: Sampah organik, sampah anorganik, dan sampah B3.

  1. Sampah organik. Setiap rumah tangga pasti menghasilkan sampah ini. Sampah ini berasal dari sisa proses pembuatan dan sisa dari makanan. Sampah jenis ini akan cepat membusuk dan menimbulkan bau. Jika dibiarkan terlalu lama secara terbuka akan menjadi sumber penyakit. Volume sampah organik ini cukup besar, komposisinya sekitar 70–80% dari sampah yang kita hasilkan, sampah orgnaik paling dihindari karena dianggap menjijikkan dan membuat tidak nyaman, sehingga biasanya sesegera mungkin dibuang. Sifat sampah ini adalah degradable (dapat diuraikan) oleh mikroorganisme.
  2. Sampah anorganik. Adalah sampah yang terbuat dari bahan-bahan anorganik yang tidak akan mengalami proses pembusukan. Volume sampah jenis ini sangat banyak, dan jika dibuang secara sembarangan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya dalam jangka waktu panjang. Sampah ini sulit sekali diuraikan oleh mikroorganisme (non degradable).
  3. Sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Ada beberapa jenis sampah yang kita hasilkan rumah tangga yang bersifat B3 ini. Contohnya adalah batu baterai bekas, oli bekas, lampu bekas, Tabung televisi bekas, dsb. Jumlah yang dihasilkan setiap rumah tangga biasanya tidak banyak, mungkin tidak lebih dari 1 s.d. 5% dari setiap akumulasi sampah harian, bahkan sampah ini hanya dihasilkan kadang-kadang saja. Sebetulnya sampah B3 ini dapat dibagi dalam beberapa kategori lagi, namun akan terlalu panjang dan belum tentu dihasilkan oleh skala rumah tangga.

Gambar dari goolge (3R bagian dari upaya pengelolaan sampah)

Nah, karena yang menghasilkan sampah sebagian besar adalah rumah tangga, maka yang paling banyak bertanggung jawab mengelola sampah adalah juga rumah tangga. Kita tidak bisa menggantungkan pengelolaan sampah ini hanya kepada pemerintah.

Nah untuk mengurangi volume sampah, kita dapat melakukan pemilahan sampah dari rumah. Minimal buat tiga buah tempat sampah untuk sampah yang berbeda untuk sampah organik, anorganik, dan B3. Sebenarnya aktivitas pemilahan sampah ini cukup mudah, tetapi kita tidak pernah disiplin dan mau melakukannya. Sampah yang telah terpilah dapat dengan mudah diproses:

  1. Sampah organik. Sampah yang bersifat degradable ini sebenarnya tidaklah harus selalu dibuang, kita bisa manfaatkan menjadi hal berguna dengan melakukan beberapa proses. Pertama, kita bisa proses menjadi pupuk organik. Ada dua macam pupuk yang bisa buat dengan memanfaatkan sampah rumah tangga, pupuk kering dan pupuk cair. Pembuatan pupuk organik bisa dilakukan dengan cara aerobik dan anaerobik dengan memanfaatkan bakteri, fungi, dan protozoa. Jumlah mikroorganisme akan mempengaruhi kecepatan proses pembuatan pupuk ini. Pengomposan dan menurunkan pengaruh senyawa beracun dan patogen terhadap lingkungan. kedua, Kita bisa memanfaatkan sampah organik menjadi pakan ternak. Dengan melakukan proses fermentasi, penggilingan dan penepungan, serta pencampuran bahan, maka sampah tersebut dapat dijadikan pakan. Pembuatan pakan ternak menggunakan sampah organik pun bisa dilakukan dengan memanfaatkan larva lalat Hermetia Illucens, Stratimydae, Diptera (lalat tentara/black soldier). Belatung atau maggot ini akan mendekomposisi sampah organik dengan mengkonsumsinya, maggot sangat cepat berkembangbiak, sehingga mempercepat proses dekomposisi sampah organik ini. Maggot yang dipanen, dapat diolah menjadi tepung dan pelet, untuk dijadikan sumber protein bagi hewan. ketiga, Beberapa orang sudah mulai memanfaatkan sampah organik ini menjadi briket. Setelah diproses dapat digunakan sebagai bahan bakar industri skala kecil. Keempat, Masih seputar bahan bakar, di beberapa tempat, sampah organik ini dapat diolah menjadi biogas. Teknologi biogas pada dasarnya memanfaatkan proses pencernaan yang dilakukan oleh bakteri methanogen yang produknya berupa gas methan (CH4). Gas metan hasil pencernaan bakteri tersebut dapat mencapai 60% dari keseluruhan gas hasil reaktor biogas sedangkan sisanya didominasi karbondioksida (CO2). Sumber daya energi biogas rata-rata mengandung 60% gas metan (CH4), lebih dari 36% karbon dioksida (CO2), kurang dari 3% belerang (H2S) dan kurang dari 1% hidrogen(H2). Biogas yang dihasilkan dari sampah organik ini dapat digunakan sebagai bahan bakar sekala rumah tangga atau lingkungan. Kelima, jika merasa ribet dengan pengolahan sampah organik poin satu sampai dengan empat, rumah tangga dapat mendegradasi sampah organiknya dengan menggunakan lobang-lobang biopori, sampah-sampah organik tersebut setiap hari dapat kita masukkan ke lobang biopori untuk didekomposisi oleh jasad hidup. Kita dapat mengangkatnya dalam 30-40 hari untuk dijadikan pupuk tanaman dan bunga di rumah kita. Volumenya akan sangat berkurang dari sebelum diurai. Sehingga jumlah sampah ini tidak akan menyulitkan kita.
  2. Sampah anorganik. Sampah ini dapat kita golongkan menjadi dua. Sampah yang bernilai ekonomi, dan sampah yang tidak bernilai ekonomi. Jika pemilahan sampah di rumah tangga sudah berjalan dengan baik, pemilahan sampah berikutnya untuk sampah anorganik sangat mudah. Selain kering dan dasarnya tidak bau jika tidak disatukan dengan sampah organik, sampah ini bukan sampah tempat baakteri dan lalat bersarang. Sampah anorganik menjadi bau jika disatukan dengan sampah organik, jika sudah dipilah dari awal maka bau itu tidak akan ada atau menjadi minimal mengingat beberapa sampah anorganik biasanya merupakan kemasan dari makanan. Sampah anorganik yang bernilai ekonomi dapat dikumpulkan dan dijual ke pengepul barang bekas. Dan sampah anorganik yang tak bernilai ekonomi nanti dapat disatukan dengan sampah B3 untuk dibakar di insenerator (tetapi sayangnya pemerintah belum melakukan ini), tetapi setidaknya yang akhirnya dapat dibuang dan diangkut ke tempat sampah hanya sampah anorganik yang tidak bernilai ekonomi dan sampah B3 yang jika dijumlahkan komposisinya tidak lebih dari 10% dari jumlah sampah harian kita. Apalagi sampah yang tidak bernilai ekonomi pun oleh beberapa kelompok masyarakat dapat dijadikan barang seni dan kerajinan, ini sangat membantu sekali. Ini tentu saja akan mengurangi volume sampah, dan jika diakumulasikan dalam skala Indonesia, ini akan sangat berdampak besar bagi volume sampah dan beban biaya yang perlu ditanggung pemerintah.
  3. Sampah B3 (Bahan berbahaya dan beracun). Jumlah sampah ini tidak besar tidak selalu ada dalam skala rumah tangga. Sampah jenis ini bersama sampah anorganik yang tidak bernilai ekonomi dapat dibakar di insenerator di fasilitas pemerintah (walaupun kembali sayang kita belum memiliki sistem itu, baru terhadap sampah tertentu saja) sehingga tidak menimbulkan polusi.

Gambar dari google (komunitas peduli bumi) - Lubang biopori

Pengelolaan sampah pada saat ini, dimana masyarakat masih berpikir bahwa sampah adalah masalah pemerintah (padahal masyarakat sendiri yang menghasilkan, hehe), adalah pemahaman yang keliru. Sampah adalah masalah kita semua, karena itu sampah perlu menjadi tanggung jawab semua masyarakat. Pemerintah pun perlu investasi besar untuk membuat sistem dan infrastruktur yang jelas dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini. Karena seringkali upaya pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat terputus dan menjadi sia-sia karena tidak nyambungnya dengan upaya pemerintah. Sampah yang sudah berusaha dipilah oleh masyarakat, seringkakali kembali disatukan saat diangkut oleh truk sampah, jadi sia-sialah upaya masyarakat. Atau misalnya di perkotaan yang lahannya sudah minim, masyarakat kebingungan untuk mengolah sampah organik. sampah B3 pun masih dibuang tanpa diproses di fasilitas pemerintah. Seringkali masyarakat sudah berupaya membuat bank sampah, tetapi bingung menjualnya. Di sini peran pemerintah diperlukan, bagaimana supaya semua upaya yang dilakukan masyarakat dapat ditindak lanjuti dan didukung oleh pemerintah. Masyarakat dan pemerintah harus sinergis dalam hal ini.

Gambar dari google (99.co) - Bank Sampah yang didirikan oleh kelompok masyarakat

Kita masih menitik beratkan penanganan sampah dengan cara-cara yang menurut saya masih sangat tradisional. Sanitary landfill dimana sampah ditimbun di TPA dan open dumping yang dibiarkan terbuka adalah cara-cara yang seharusnya sudah dapat dikurangi atau bahkan suatu saat dapat tidak ada sama sekali.

Jadi permasalahan sampah ini belum benar-benar belum menjadi proyek strategis pemerintah. Padahal masalah sampah adalah permasalahan yang signifikan menghambat kemajuan negara dan masa depan kehidupan bangsa yang baik dan berkelanjutan. ketidak seimbangan alam dan terganggunya ekosistem akibat sampah dan limbah akan berpengaruh pada kelanjutan hidup manusia.

Pemberdayaan masyarakat dan penyediaan sistem dan infrastruktur pendukung mengenai permasalahan sampah ini mutlak menjadi prioritas yang harus segera dilakukan. Dan menurut saya, pengelolaan sampah dan limbah harus segera masuk menjadi proyek strtategis nasional. Ini sangat penting, karena sampah dan limbah tiap hari dihasilkan oleh setiap manusia dan proses industri.

Untuk itu mari kita mulai dari yang paling bisa kita lakukan dengan mengelola sampah untuk lingkungan yang lebih baik.

Saturday, 22 February 2020

Air Limbah Domestik dan kesinmbungan sarana air dan sanitasi

Masalah pencemaran air di Indonesia telah mencapai tahap darurat. Banyak sungai dan drainase yang terlihat hitam pekat dengan bau menyengat. Secara lingkungan tentu saja hal itu tidak sehat, padahal menurut Bloom 45% kesehatan dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan kondisi demikian maka tidak aneh jika sangat berpengaruh pada produktivitas, kesehatan, ekonomi, dan keunggulan sumber daya manusia. Kasus stunting (undernourished) masih terbilang tinggi di Indonesia. Stunting adalah kondisi dimana pertumbuhan fisik seorang anak tidak sesuai usianya dan perkembangan otak yang kurang, yang diakibatkan oleh gizi buruk, infeksi berulang, stimulasi psikososial yang tidak memadai. Indonesia menempati posisi ke 5 di dunia dengan jumlah balita tertinggi mengalami stunting, dari 100 balita terdapat 12 anak yang mengalami stunting (KSAN 2017). Padahal, kondisi perkembangan otak akibat stunting bersifat permanen. Ini tentu saja berpengaruh pada perkembangan bangsa. Infeksi, sebagai salah satu stunting, diakibatkan oleh kondisi kesehatan lingkungan yang buruk. 

Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui air, karena air merupakan bahan utama dalam aktivitas manusia. Terdapat 4 kelompok dalam penularan penyakit melalui air:

  1. Water borne diseases, penyakit yang ditularkan langsung melalui air yang diminum yang mengandung patogen;
  2. Water based diseases, adalah penyakit yang ditularkan oleh bibit penyakit yang sebagian siklus hidupnya di air;
  3. Water washed diseases, adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air untuk pemeliharaan higiene perorangan;
  4. Water related insect verctor diseases, adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor yang hidupnya tergantung pada air.
Masih banyak di perkotaan dan di daerah padat dimana pembuangan limbah rumah tangga dibuang
langsung ke saluran air tanpa melalui pengolahan terlebih dulu


Pemerintah dan organisasi non pemerintah sudah banyak berupaya untuk mengentaskan hal ini dengan membangun sarana sanitasi dan mendorong perubahan perilaku kesehatan (PHBS) di masyarakat melalui penyediaan air bersih dan sanitasi dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun, sampai sekarang masalah tersebut belum juga terselesaikan. Diawali melalui Target MDGs (Millenium Development Goals) 2015 yang kemudian dilanjutkan dengan uiversal akses tahun 2019 yang mentargetkan 100 persen akses air dan sanitasi, namun rupanya belum tercapai, kemudian ditargetkan kembali melalui SDGs (Sustainable Development Goals) 2030 yang mentargetkan 100-0-100 (100 persen akses aman air bersih), 0 persen kawasan kumuh, dan 100 persen akses layak sanitasi di seluruh Indonesia. Walaupun sampai saat ini belum tercapai akses 100 persen tapi progress terus meningkat.

Namun, pertanyaannya apakah target tersebut akan tercapai di tahun 2030? kenyataan di lapangan sering terjadi di masyarakat yang akses air bersih dan sanitasinya sudah meningkat melalui penyediaan sarana dari pemerintah dan lembaga lain bahkan ada yang sudah 100% memiliki akses air bersih dan sanitasi, lalu beberapa waktu kemudian kembali lagi aksesnya menurun. Persoalan pengelolaan sarana oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang diberi tanggung jawab, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sarana sanitasi dan air bersih perlu pengelolaan dan pemeliharan untuk dapat berkesinambungan dan berkembang, hal ini masih menjadi ganjalan karena tidak semua (bahkan mungkin mayoritas) pengelola air bersih maupun sanitasi tidak memiliki cukup kapasitas untuk melakukan itu, padahal upaya pemerintah pun sudah cukup keras, pemberdayaan masyarakat menjadi basis dalam setiap program yang digulirkan ke masyarakat, masyarakat terlibat langsung mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dampai pemeliharaan sarana, yang salah satu produknya adalah terbentuknya badan atau kelompok pengelola sarana. Kelompok sarana ini pun harus bersinergi dengan BUMDES yang sudah diwajibkan ada di seluruh desa. Namun, setali tiga uang, baik BUMDES maupun kelompok pengelola yang dibentuk sama-sama banyak yang tidak jalan. Akhirnya sarana tidak terkelola dan terpelihara dengan baik, sudah dipastikan sarana tesebut akan rusak dan tidak berfungsi, akhirnya akses kembali menurun.

Air limbah dapat dibagi ke dalam ke dalam 3 jenis: Air limbah domestik yang berasal dari buangan rumah tangga, air limbah industri dan air limbah pertanian, dan air limbah dari perkantoran dan pertokoan (Nusa Idaman Said, 2017). Air limbah domestik atau rumah tangga terdiri dari air limbah kakus/toilet (black water) dan air limbah non kakus (grey water). Menurut penelitian (Iwai, 1978) rata-rata setiap orang mengeluarkan kotoran tinja sebanyak 1,2 liter. Menurut hasil penelitian Pemda DKI tahun 1990 air buangan dari rumah tangga per hari adalah 118 liter dengan konsentrasi BOD (Biological Oxygen Demand) rata-rata 236 mg/l., dan diproyeksikan menjadi 147 liter pada tahun 2010, dengan BOD rata-rata 224 mg/l.  Dilihat dari beban polutan organiknya, air limbah rumah tangga sekitar 70%, air limbah perkantoran 14%, dan air limbah industri sekitar 16%. Dengan demikian, air limbah rumah tangga dan air limbah perkantoran menjadi penyumbang terbesar terhadap pencemaran air di Jakarta, dan mungkin memiliki komposisi yang hampir sama di seluruh Indonesia.

Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
pH

6-9
BOD
Mg/L
30
COD
Mg/L
100
TSS
Mg/L
30
Lemak dan minyak
Mg/L
5
Amoniak
Mg/L
10
Total Coliform
Jml/100 ml
3.000
Debit /O/hr
L/O/Hr
100
Sumber: Permen LHK No. P. 68 tahun 2016













Monday, 30 January 2017

Sanitasi kita: Septic tank atau cubluk?

Oleh: J.Sukmara

Sudah merupakan gambaran yang umum penataan permukiman di kota-kota besar di Indonesia dibuat berdempetan, tidak hanya di kawasan permukiman "campur-campur" yang sebagian besar masyarakatnya adalah menengah ke bawah, tetapi juga desain perumahan-perumahan dengan harga yang menengah bahkan mahal, juga dibuat berderet dan berdempetan. Semuanya memang dibuat demikian, Secara bisnis hal tersebut untuk mengurangi biaya, memperkecil harga rumah, dan memaksimalkan space tanah yang ada. Harga tanah menjadi faktor utama yang mempengaruhi harga rumah sekaligus juga pendapatan bagi si pengembang. Di permukiman di luar kompleks perumahan, masyarakat membuat rumah dengan memaksimalkan lahan yang ada, sehingga luas bangunan seringkali sama dengan luas tanah.

Akibat dari sistem seperti itu, seharusnya juga difikirkan sistem sanitasi dan air bersih yang baik. Sudah menjadi gambaran umum juga di perkotaan, tidak seluruh masyarakat mendapatkan pelayanan air dari PDAM atau perusahaan air minum perpipaan. Prosentase cakupan pelayanan PDAM juga berbeda beda di tiap wilayah, bergantung pada kondisi PDAM dan sumber air baku yang tersedia. Walaupun dalam RPJMN maupun universal akses ditargetkan tahun 2019 semua masyarakat sudah dapat terakses oleh air besrih yang aman, tetapi saat ini kondisinya masih cukup jauh, angkanya masih sekitar 65-68% masyarakat urban (perkotaan) secara nasional yang sudah terakses air bersih perpipaan tersebut. Artinya, masih cukup banyak masyarakat yang mendapatkan air bersih dari sumber lainnya. 

Umumnya sebagai solusi yang dilakukan masyarakat perkotaan untuk mendapatkan air besrih adalah dengan membuat sumur, sumur gali maupun sumur bor. Sebagian lainnya mempergunakan air kemasan maupun isi ulang. Kedua upaya tersebut bukan tanpa resiko. Secara ekonomi, air kemasan maupun isi ulang memiliki biaya cukup tinggi, karena air dihitung berdasarkan galon, berbeda dengan air PDAM yang dihitung berdasarkan kubik. Isi satu galon air rata-rata adalah 19 liter, sedangkan PDAM menghitung harga air per meter kubik atau 1000 liter. Tentu saja jauh sekali bedanya, padahal harga air kemasan satu galon bisa 3-5 kali lipat harga per m3 air PDAM, atau untuk air isi ulang harga per galon air (19 liter) bisa sama dengan harga harga 1 m3 air PDAM. Jadi, secara ekonomi ini cukup memberatkan bagi masyarakat. 

Resiko lain adalah resiko lingkungan. Desain pemukiman yang berdempetan memiliki resiko sumur tercemar air limbah domestik. Menurut kesehatan jarak aman antara sumber pencemar dengan sumber air harus tidak kurang dari 10 meter, karena diperhitungkan dalam jarak sekian bakteri mati sebelum mencapai sumber air. Tetapi, yang ada di permukiman kita, justru jarak antara sumur dengan sumber cubluk seringkali hanya beberapa meter saja, kadang-kadang malah berdempetan, hanya dipisahkan benteng atau tembok tetangga. Tentu saja hal ini sangat berisiko. Sehingga sering ditemukan sumur-sumur warga airnya kotor, berbusa, dan bau, kemungkinan hal ini karena pencemaran dari air limbah domestik.

Gaya pembangunan sarana penampungan air limbah yang banyak ditemukan juga masih berupa lubang tanpa perkerasan dan pengkedapan. Jadi limbah yang masuk ke dalam lubang penampungan air limbah meresap langsung ke dalam tanah, dan dengan dekatnya jarak antara sumur dengan penampungan limbah tersebut, pencemaran dengan cepat terjadi pada air sumur. hal ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Padahal pencemaran ini merupakan pintu gerbang bagi merebaknya penyakit-penyakit berbasis lingkungan, seperti diare, dsb. 





Sebetulnya ada dua sistem yang dapat dapat diterapkan di perkotaan, dengan sistem onsite (setempat), atau sistem offsite (terpusat). Sistem pengolahan setempat dengan membangun septic tank dengan standar (SNI). Harus dibedakan istilah septic tank dan cubluk yang biasa ada di masyarakat, karena masyarakat juga terbiasa menyebut cubluk dengan sebutan septic tank. Dari segi bahasa juga sebenarnya sudah jelas, septic tank merupakan penampungan yang kedap, artinya ir limbah yang masuk tidak akan meresap ke bawah maupun ke pinggir lubang. Air limbah yang masuk dengan membawa residu atau kotoran berupa tinja serta air limbah bekas cuci, mandi dsb, dproses secara bakteriologis dan kimiawi. Mikroba anaerob dalam septic tank menguraikan air limbah secara lambat hingga berbulan-bulan sampai kemudian limbah tersebut terurai. Endapan limbah akan terjadi di dalam septic tank yang biasa disebut lumpur tinja yang harus disedot (dikeluarkan) dan diolah kembali di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), sampai kemudian aman untuk dibuang atau dikembalikan ke alam dan dapat menjadi pupuk. Di dalam septic tank pun terjadi proses kimiawi, dengan meningkatkan jumlah oksigen yang terkandung di dalam air limbah. Semakin tinggi kebutuhan oksigen semakin tercemar air limbah tersebut. kebutuhan oksigen terebut biasa dinamakan dengan Chemical Oxigen Deman (COD), kebutuhan oksigen untuk menguraikan air limbah. Jadi, terjadi proses panjang yang cukup kompleks dalam septic tank, sampai kemudian air yang telah aman dapat meluap dan dibuang ke saluran air. Sedangkan lumpur tinja disedot setipa dua atau tiga tahun sekali dan diproses di IPLT. Penyedotan jangan melebihi terlalu lama, setelah empat atau lima tahun lmpur tersebut akan mengeras, dan akan mempengaruhi proses penguraian di dalam septic tank. 

Cara atau sisem kedua yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan sistem offsite (terpusat). Air limbah black water (dari closet) dan grey water (dari bekas cucian, mandi, dsb), masuk ke dalam jaringan pipa dalam satu wilayah atau kawasan. kemudian air limbah terbut masuk ke dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan akan diproses di sana, IPAL yang tanpa dilengkapi dengan instalasi proses lanjutan, dalam kurun waktu tertentu lumpur tinja harus disedot dan diproses di IPLT. IPAL yang disesain lengkap, proses pengolahan air limbah dan lumpur tinja sampai pada tahap akhir, sampai lumpur tinja tersebut aman untuk dibuang ke alam atau dijadikan pupuk. 







Jadi, seharusnya sistem tersebutlah yang harus diterapkan di permukiman di perkotaan atau di permukiman lain yang padat. Untuk mencapainya mutlak diperlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang sarana sanitasi yang sehat. Selain itu juga diperlukan desain dan investasi yang besar dari pemerintah. Dengan kesehatan yang maningkat, akan berdampak pada peningkatan produktivitas yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. 

Jadi, jika anda punya "septic tank" (menurut istilah awam) tetapi setelah bertahun bahkan berpuluh tahun tidak pernah penuh dan disedot, anda dapat menyimpulkan sarana penampungan seperti apa yang anda miliki, cubluk atau septic tank. 

kerusakan hutan dan jalan menuju kepunahan kita...


Oleh: J.Sukmara

Suatu hari kami diperlihatkan sebuah gambar mengenai deforestasi (penggundulan hutan) di Pulau Kalimantan. Dalam slide terlihat gambar Pulau Kalimantan dalam warna hijau yang berarti hutan sejak tahun 1950 sampai dengan gambar proyeksi tahun 2020. Pulau Kalimantan merupakan wilayah yang dimiliki oleh tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Dari slide yang kami lihat saat itu, ada yang menggelitik dan cukup membuat penasaran sekaligus miris, adalah deforestasi yang terjadi di 3 negara itu tidak sama. Justru yang paling mengkhawatirkan (berdasarkan gambar tersebut) deforestasi di Pulau kalimantan yang masuk dalam wilayah Indonesia lebih cepat ketimbang wilayah Malaysia dan Brunei.

Jika dilihat gambar Pulau Kalimantan tahun 1950 seluruhnya masih berwarna hijau, yang berwarna putih hanya di beberapa tempat saja, sepertinya di sekitar daerah Banjarmasin (indonesia), Pontianak (Indonesia), Serawak (malaysia), dan mungkin Tawau (malasyia), yang jika disimpulkan saat itu hutannya masih lebat. Tahun 1985 sudah mulai banyak bercak-bercak putih, yang berarti telah terjadi penggundulan hutan di beberapa wilayah, daerah yang terjadi penggundulan hutan, terutama di wilayah utara dan barat Pulau Kalimantan, sebagian besar di wilayah Malaysia. Memasuki tahun 2000 penggundulan hutan itu semakin meluas, kali ini wilayah yang semakin berwarna putih (hutannya makin gundul) bertambah ke wilayah kalimantan sebelah Timur dan Selatan, sebagian deforestasi itu berada di wilayah Indonesia. Tahun 2005, deforestasi itu semakin meluas pesisir Pulau kalimantan sampai radius beberapa ratus kilometer ke arah tengah pulau, semakin berwarna putih. Tahun 2010, deforestasi itu semakin luas lagi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan semakin berwarna putih saja. terakhir, dengan proyeksi kecepatan penggundulan hutan, diprediksi tahun 2020, hutan Kalimantan hanya akan tersisa di bagian tengah dan sebagian wilayah utara saja.

Yang menjadi pertanyaan, jika kita cukup jeli, ternyata laju penggundulan hutan di Pulau Kalimantan wilayah Indonesia ternyata lebih cepat dari pada di wilayah Malaysia dan Brunei. Jika kita lihat di gambar tersebut, ternyata hutan di wilayah Malaysia lebih stabil, warna hijaunya masih banyak, sampai prediksi tahun 2020 pun. Tetapi sebaliknya hutan di Indonesia semakin habis, kecepatan penggundulannya cukup masif, mungkin suatu saat tidak ada lagi hutan di Pulau Kalimantan (mudah-mudahan tidak terjadi).

Sempat terpikir, mungkin deforestasi yang lebih cepat di indonesia karena jumlah penduduk Indonesia lebih banyak, sehingga kepadatan lebih tinggi dibanding wilayah Malaysia. Tetapi, setelah mencari data dari sana-sini, kepadatan penduduk Malaysia di Pulau Kalimantan justru lebih tinggi dibanding kepadatan penduduk di Pulau Kalimantan wilayah Indonesia. Setelah saya coba hitung-hitung, kepadatan penduduk di wilayah Indonesia (kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara) berjumlah 24,76 orang/km2, sedangkan di wilayah Malaysia ditambah Brunei (Serawak, Sabah, Brunei) adalah 31,5 orang/km2, lebih tinggi daripada kepadatan penduduk wilayah Indonesia. Jelas alasan kepadatan penduduk bukan menjadi penyebab cepatnya penggundulan hutan di Kalimantan wilayah Indonesia, karena ternyata penggundulan hutan di wilayah malaysia lebih lambat daripada di indonesia walaupun kepadatan penduduk malaysia di Pulau Kalimantan lebih tinggi.

Lantas, apakah penyebabnya? sebenarnya sudah menjadi rahasia umum dan menjadi bahasan yang ramai dibicarakan di Indonesia, ada banyak sekali kemungkinan penyebab penggundulan hutan yang masif di Pulau Kalimantan: pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pembukaan hutan akibat penambangan batu bara, pembukaan hutan untuk dijadikan sawah dan perkebunan rakyat, kebakaran (pembakaran?) hutan, dan sebagainya. Semuanya seringkali dibahas dan perdebatan di forum-forum formal sampai obrolan-obrolan informal. Tetapi ternyata semuanya belum dapat menghentikan atau setidaknya memperlambat penggundukan hutan itu, perubahan wajah Pulau Kalimantan dengan hutannya yang legendaris, terus terjadi, Menurut LSM Save Our Borneo (SOB) tahun 2008, diperkirakan laju kerusakan hutan (deforestasi) menjcapai 864 ribu hektar per tahun atau kira-kira sama dengan luas Kota Jakarta ditambah Kota Bekasi. Coba kita bayangkan berapa lama lagi Pulau kalimantan akan benar-benar gundul?

Hutan Pulau kalimantan sangatlah kaya akan keragaman hayati. Menurut teori, tiga hal yang mendukung kesinambungan lingkungan hidup adalah: Sinar/energi matahari (solar energy), keaneka ragaman hayati (bio diversity), dan proses/siklus kimia (chemical cycling).





Menurut para ahli, alam dapat bertahan dengan mengikuti tiga prinsip kesinambungan tersebut. Selama 3,5 milyar tahun alam dengan luar biasa telah mengahadapi dan bertahan dari perubahan-perubahan terjadi. Dalam jangka waktu yang sedemikian panjang, alam telah melewati banyak hal, berbagai bencana besar, perubahan iklim di bumi, dan sebagainya. Para ahli sepakat, untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi kita harus memperhatikan tiga hal yang dapat membuat alam ini dapat bertahan yang menjadi kesinambungan alam: Energi matahari, tanpanya tidak ada fotosintesis yang menjadi proses dasar penyediaan makanan bagi seluruh makhluk hidup, tanpanya tidak mungkin ada kehidupan, karena tanpa makanan makhluk hidup tidak mungkin bisa bertahan. Keaneka ragaman hayati, menjadi hal yang luar biasa, setiap makhluk hidup menopang kehidupan makhluk hidup lainnya, tanpa keaneka ragaman hayati, maka kehidupan akan tergoncang, menjadi tidak seimbang dan kemungkinan akan punah. Siklus kimia, menyediakan nutrisi bagi makhluk hidup, nutrisi itu didapatkan dari proses perputaran kehidupan makhluk itu sendiri. Jadi, ketiga elemen penopang kehidupan itu harus ada, kalau tidak, maka akan terjadi ketidak seimbangan alam dan akhirnya terjadi kerugian besar bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Maka, ketika keanekaragaman hayati tidak lagi ada di Pulau Kalimantan, kita sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi di sana nantinya, bagi masyarakat dan penduduk yang mendiaminya, dan bagi kita masyaakat Indonesia secara umum. Perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak dapat menggantikan keanekaragaman hayati sebuah hutan, walaupun tanaman sawit adalah juga tumbuhan. Perkebunan bersifat homogen, sedangkan hutan sangat heterogen, ada sebuah ekosistem di sana, di mana satu dengan lainnya saling memperngaruhi dan membutuhkan.

Seperti yang kita ketahui, aktivitas ekonomi menjadi penyebab utama penggundulan hutan di Pulau Kalimantan. Apakah ini salah? jawaban sebagian orang mungkin tidak. Aktivitas ekonomi itu juga untuk menyokong kehidupan manusia, masyarakat Indonesia butuh aktivitas ekonomi untuk dapat hidup dan tumbuh menjadi lebih sejahtera. Tetapi harus menjadi perhatian kita bersama, bahwa segala aktivitas ekonomi juga harus memperhatikan kebijakan memperhatikan lingkungan, karena lingkungan hidup adalah rumah kita, ketika kita rumah kita rusak, di manakah kita dapat hidup dan bernaung? Rumah yang rusak akan memberikan efek yang jauh kebih buruk dan merugikan dibanding keuntungan ekonomi yang kita dapatkan selama ini. kerusakan lingkungan bisa jadi adalah tanda-tanda dan jalan menuju kepunahan kita. Maukah kita punah karena keserakahan kita sendiri? mari kita jawab sama-sama...














Land Subsidence dan Banjir Jakarta

Land subsidence  atau penurunan tanah bisa dikaibatkan oleh beberpa penyebab: akibat penambangan air tanah yang berlebihan dan menghasilkan ...